• Black
  • perak
  • Green
  • Blue
  • merah
  • Orange
  • Violet
  • Golden
  • Nombre de visites :
  • 51
  • 10/7/2017
  • Date :

Pengalaman Belajar di Masa Kecil Sayid Ali Khamenei hf

Sekitar tahun 1323-1324 SQ (penanggalan Iran) waktu pertama-tama kami menginjakkan kaki di maktab, saya lupa hari pertama saya masuk maktab. Setelah beberapa waktu di maktab (perempuan), sekitar satu atau 2 bulan, kami dipindahkan ke satu maktab laki-laki yang gurunya seorang laki-laki tua. Mungkin kalian pernah membaca cerita-cerita kuno “Mulla Maktabi”, ya benar yang kalian gambarkan di cerita-cerita dan dongeng kuno, kami belajar kepadanya.  

pengalaman belajar di masa kecil sayid ali khamenei hf

Ayatullah Sayid Ali Khamenei menceritakan pengalamannya di masa kecil dengan mengatakan bahwa Pusat pembelajaran pertama yang saya datangi bukanlah sekolah, melainkan maktab (pengajian rumah non-formal). Di usia sebelum sekolah, mungkin 4 atau 5 tahun, saya dan kakak laki-laki saya (yang umurnya 3,5 tahun diatas saya), kami bersama dikirim ke sebuah maktab perempuan, yakni sebuah maktab yang guru dan murid-muridnya mayoritas perempuan, hanya ada beberapa murid laik-laki disana, tentu saja saya masih kecil saat itu. Pengalaman yang bisa saya ingat pada waktu itu adalah anak-anak berumur empat atau lima tahun tidak boleh ditempatkan di maktab maupun sekolah, karena tidak ada gunanya. Menurut saya, saya tidak mendapatkan faedah ilmu maupun pelajaran dari maktab yang saya datangi di masa sebelum sekolah. Kami dikirim ke maktab semata-mata untuk mengenal al-Qur'an karena di maktab biasanya diajarkan al-Quran. Pada waktu itu di sekolah-sekolah, umumnya tidak di ajarkan al-Quran.  (Baca Juga: Kemuliaan dan Kedisiplinan Sayid Ali Khamenei hf)

 

Sekitar tahun 1323-1324 SQ (penanggalan Iran) waktu pertama-tama kami menginjakkan kaki di maktab, saya lupa hari pertama saya masuk maktab. Setelah beberapa waktu di maktab (perempuan), sekitar satu atau 2 bulan, kami dipindahkan ke satu maktab laki-laki yang gurunya seorang laki-laki tua. Mungkin kalian pernah membaca cerita-cerita kuno “Mulla Maktabi”, ya benar yang kalian gambarkan di cerita-cerita dan dongeng kuno, kami belajar kepadanya.  

 

Saya murid terkecil di maktab, mungkin saya berumur lima tahun karena saya sangat kecil dan saya juga anak ulama, bapak “Mulla Maktabi” ini seringnya pagi-pagi mendudukkan saya di sebelahnya dan memberikan uang kepada saya yang dikeluarkan dari kantongnya misalnya uang kertas 5 qarani atau 2 toman dan beliau berkata “Kamu usapkan uang ini ke al-Qur'an supaya berkah” kasihan beliau menghibur hatinya seperti ini karena tidak memiliki penghasilan. 

 

Hari pertama ketika kami dibawa ke sekolah yang sangat kelam, gelap, dan buruk. Ayah membawa saya dan kakak laki-laki saya masuk ke sebuah ruangan besar, menurut saya pada saat itu ruangannya sangat besar. Mungkin seukuran setengah ruangan ini atau juga lebih besar, tetapi dimata saya saat anak-anak dulu, itu adalah sebuah tempat yang sangat besar. Dan karena jendelanya tidak berkaca, hanya ada kertas lunak, gelap dan tidak bagus. Ya, saya disana beberapa waktu.  

 

Akan tetapi di hari pertama saya di bawa ke sekolah dasar, itu hari yang baik, hari yang ramai. Anak-anak bermain, kami juga bermain. Ruang kelas kami begitu besar -lagi-lagi menurut pandangan kekanak-kanakan saya dulu- dan jumlah murid kelas satu banyak, mungkin sekitar 30-40 anak. Ya, kami murid kelas satu, hari itu hari yang menyenangkan dan penuh semangat dan tidak ada kenangan buruk dihari itu. 

 

Waktu itu mata saya lemah, tidak ada yang tahu, begitu juga saya, saya cuma merasa bahwa mata saya tidak bisa melihat sesuatu dengan benar. Setelah beberapa tahun dan saya tahu bahwa mata saya lemah, ayah dan ibu saya juga mengetahuinya, mereka menyiapkan sebuah kacamata untuk saya. Saat itu ketika saya berkacamata kira-kira saya berumur 13 tahun, ya ini kekurangan saya di awal periode sekolah. Saya tidak dapat melihat wajah guru saya dari jauh. Begitu juga papan tulis hitam, sama sekali saya tidak melihat tulisan diatasnya, ini semua menimbulkan masalah besar dalam pembelajaran saya.  

 

Untungnya sekarang ini anak-anak sejak kecil sudah di periksa dan jika matanya lemah akan segera disiapkan kacamata. Waktu itu di sekolah-sekolah sama sekali tidak seperti ini. (Baca Juga: Masa Kanak-kanak Ayatullah Sayid Ali Khamenei hf)

 

Sekolah kami yang istilahnya sekolah swasta, bukan hanya sekolah Islam tetapi para guru dan pimpinan sekolah adalah orang-orang terpilih yang agamis dan dengan beberapa program, menjadikan sekolah ini lebih agamis ketimbang sekolah-sekolah umumnya pada waktu itu. Karena sekolah lain pada umumnya tidak memiliki program keagamaan dan tidak ada yang memperhatikan hal itu.

 

Jika ditanya tentang bermain, Ya kami juga bermain. Tetapi kami bermain di gang (jalan kecil diluar rumah), karena kami tak punya tempat bermain dirumah dan permainan kami dulu bermacam-macam. Salah satunya permainan yang mengandung olah raga, seperti bola voli, sepak bola, dan sejenisnya. Saya sangat senang bermain voli. Saat ini pun jika ingin bermain, kami bermain bersama -tentu saja dengan anak-anak saya- saya cenderung ke voli karena olah raga yang bagus.  

 

Permainan selain olah raga waktu itu, “gorgam be hava (serigala terbang)” dan permainan lainnya yang tidak terlalu jelas dan bermakna yaitu jika sebagian permainan mungkin saja mengandung pembelajaran dan orang-orang yang berpikir memilihnya, permainan-permainan yang sekarang dalam bayangan saya, sama sekali tidak memiliki kelebihan itu, akan tetapi hanya permainan dan kesenangan saja.  

 

Satu lagi yang saya tahu menarik untuk kalian adalah pada waktu itu saya bersorban, yakni sekitar usia 10-13 tahun, saya mengenakan sorban di kepala dan qabā (jubah yang dipakai ulama) di badan saya. Sebelumnya pun begitu, dari pertama saya sekolah, saya memakai qabā, tetapi di musim-musim panas saya ke sekolah tanpa sorban, jika tiba musim dingin, ibu melilitkan sorban di kepala saya. Ibu saya sendiri adalah seorang anak ruhani dan saudara-saudaranya juga ruhani, beliau (ibu saya) cukup ahli melilit sorban. Beliau melilitkan sorban di kepala kami lalu kami pergi sekolah. Tentu saja agak repot seorang anak berpakaian qabā panjang di hadapan teman-teman yang berpakaian model lain. Tentu saja seperti menjadi berbeda dengan yang lain, tetapi kami menggantinya dengan bermain bersama, bersahabat dan kenakalan masa kecil dan kami tidak mempersulit keadaan dalam melewatinya.

 

Sepatu 

Setiap hari Sayid Ali Khamenei belajar di madrasah diniyah yang terletak didekat pasar Sarsyur, beliau sangat menikmatinya, dengan semangat dan ceria,pergi dan pulang sekolah melewati jalan-jalan kecil. Beliau membungkus buku-bukunya dengan serbet, sepatu beliau tidak dapat mengimbangi geraknya yang lincah. 

 

Sepatu beliau di musim panas giveh dan di musim dingin mirzaei (model sepatu olah raga). Alas kaki yang umumnya dikenakan oleh para pelajar agama zaman itu adalah yang sederhana dan harganya murah.   

 

Ayah tidak pernah membeli sepatu bertali. “Dalam hati, kami selalu berharap untuk memiliki sepatu bertali, hingga saat inipun saya tidak pernah memakai sepatu bertali, yakni harapan itu belum terwujud sampai sekarang”. 

 

Ketidak punyaan ayah -yang merupakan awal dari kezuhudan dan penarikan diri dari sosial- tidak dapat memenuhi keinginan anak-anak, sekalipun hanya untuk membeli sepatu dengan model yang disukai anak-anak. Ditambah lagi selera ayah yang khusus. Kehidupan Sayid Ali Khamenei dan keluarga berlalu dengan kesulitan, kalaupun sepatu yang harganya murah bisa terbeli, itu adalah hasil dari tangisan anak-anaknya. 

 

“Saya ingat satu hari ayah membeli sepatu mirzaei tetapi kekecilan untuk kaki saya dan beliau tidak mampu untuk menukarnya terlebih membeli lagi yang baru. Akhirnya kami membelah dan mengukurnya lalu memasangkan tali. Saya sangat senang karena sebentar lagi akan memiliki sepatu bertali. Tetapi setelah di belah dan di pasang tali, sepatu itu modelnya menjadi sangat jelek, saya begitu sedih saat itu, tapi apa boleh buat.”

 

Hidangan Makan

“Saya masih ingat waktu saya masih kecil, di malam-malam saat kami tak punya makanan, ibu membeli kismis atau susu dengan uang receh yang kakek sering berikan kepada saya atau kakak dan adik saya, kemudian memakannya dengan roti.”  

 

Setiap hari Jum’at Ali Agha (Rahbar), Muhammad Agha dan Rubab pergi kerumah kakek mereka. Bibi (nenek Rahbar) sangat mencintai anak-anak ini karena kasih sayangnya yang juga tak terhingga pada Banu Khadijah (ibunda Rahbar). Bibi seringkali melengkapi kecintaannya dengan memberikan 1 rial, 30 syohi atau 10 syohi ke tangan kecil cucu-cucunya. “tidak jarang waktu itu sesampainya kami dirumah, ibu mengumpulkan uang-uang kami dan membeli kismis dengan uang itu lalu kami memakannya dengan roti dan susu... tak jarang pula kami tak punya makan malam.” 

 

Ketika ekonomi kembai normal, menu makan malam adalah nasi, menu ini terbilang menarik dan penting dalam jadwal makanan di keluarga. Obgusyt (sop daging) yang dimasak hanya dengan lima potong daging merupakan kekuatan besar penambah selera makan. Sebagian dari makanan tradisional ini di tempatkan kedalam satu mangkuk keramik dan di kirim ke lantai atas untuk ayah dan sebagian lagi di tempatkan di mangkuk (berbahan tembaga) dan akan sangat cepat habis oleh serbuan tujuh tangan dari tujuh orang dalam keluarga yang duduk melingkari makanan itu. Ibu dan kakak-kakak perempuan akan mengalah pada anak-anak kecil. Dengan keadaan ini “sering juga terjadi setiap orang dari kami hanya kebagian dua suap, selebihnya kami harus mengenyangkan perut kami dengan roti dan keju atau yang lainnya. Ibu saya seorang yang qana’ah dan tidak terlalu mementingkan makanan, untuknya tidak masalah kalaulah hanya makan satu suap, tetapi untuk anak-anaknya beliau selalu berusaha agar mereka bisa kenyang.”

 

Membaca Buku sebelum Tidur 

Kira-kira semua anggota keluarga dirumah kami, mungkin saya bisa mengatakan tanpa pengecualian, dimalam hari selalu membaca buku sebelum tidur. Begitu juga dengan saya, bukannya ketiduran selagi membaca tetapi saya membaca sampai rasa kantuk datang, lalu saya letakkan buku dan tidur. Semua anggota rumah kami juga begitu, yakni ketika hendak tidur pasti ada sebuah kitab di sisinya. Menurut saya semua keluarga di Iran semestinya seperti itu, ini harapan saya.

 

Sumber:
Mentari Bumi Persia

 

 

  • Print

    Send to a friend

    Comment (0)