Menyongsong Fajar Persatuan Dunia Islam: Perspektif Ayatullah Khamenei
Qur’an mengisyaratkan bahwa kecenderungan untuk bersatu, merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari eksistensi manusia. Sejak umat pertama tercipta dan menghuni dunia, saat itu pula keinginan untuk bersatu muncul. Manusia, dengan tujuan untuk melangsungkan kehidupan serta mengurangi berbagi kesulitan, saling membantu antara satu dengan yang lainnya. Tetapi, karena berbagai faktor terjadilah pertikaian dan peperangan.
Potret Dunia Islam
Hari ini, dunia Islam masih berduka. Pesta pembantaian umat manusia yang digelar Amerika di Irak dan Afganistan belum lagi usai, genderang perang sudah kembali ditiupkan di Gaza dan Libanon Selatan. Umat Islam, bertubi-tubi harus menanggung penderitaan yang berkepanjangan. Berdasarkan hasil penelitian OBA[1] yang dikutip Harian Sore menyebutkan selama invasi Amerika di Irak, lebih dari sejuta warga Irak tewas, empat juta kehilangan tempat tinggal sedang hampir separuhnya telah mengungsi ke negara-negara tetangga. Muslim di Palestina, tentu saja mengalami nasib yang lebih buruk, para peneliti kesulitan menentukan angka korban secara pasti. Karena setiap harinya, jumlah korban terus melonjak. Demikian pula, Afganistan dan negara-negara lainnya. (Baca Juga: Mempersatukan Umat; Upaya yang Tak Kenal Henti)
Arah politik dunia, memang sedang tidak berpihak kepada umat Islam, terutama pasca peristiwa Sebelas September. Prediksi Hungtinton dalam bukunya Who Are We? menegaskan bahwa musuh baru Amerika adalah Islam, membuat para petinggi gedung putih sibuk merancang sebuah imperium baru bernama “Imperium Americanum” Ide ini, selanjutnya mengilhami mimpi Bush tentang peta baru Timur Tengah dan ternyata menjadi mimpi buruk dunia Islam, seperti disitir Sardar.
Dalam ranah ekonomi, dunia Islam juga masih harus menanggung kegetiran. Enam dari delapan negara-negara paling miskin di dunia adalah negara-negara Islam seperti Etiopia, Afghanistan, Somalia, Nigeria, Mozambiq dan Pakistan.[2] Jika dahulu, kelaparan memaksa negara-negara miskin menerima kolonialisasi dan penjajahan dari banga asing. Maka, hari ini, negara-negara miskin telah menggadaikan kedaulatan negaranya lantaran kewajiban hutang yang bertumpuk. Padahal, pada saat yang sama, dunia Islam mewarisi tiga perempat kekayaan mineral dan minyak dunia.
Di belahan dunia Islam yang lain, umat Islam saling berhadapan hanya karena perbedaan mazhab, partai maupun organisasi. Tak jarang, kondisi ini melahirkan pertumpahan darah. Ratusan, bahkan ribuan nyawa tak berdosa telah ditumbangkan atas nama Islam. Belum lagi, ditebarnya berbagai aliran Islam menambah kekisruhan arena panggung peradaban dunia Islam.
Ayatullah Khamenei dan Perjuangan Dunia Islam
Realitas yang terjadi pada umat Islam, tentu saja menyisakkan tanda tanya besar di kepala kita tentang apa yang sebenarnya terjadi di dunia Islam. Umat yang dahulu pernah menjadi imperium terbesar di dunia, menaklukan Persia dan Romawi. Umat yang pernah memimpin di berbagai bidang pengetahuan mulai dari teologi, filsafat, kimia, matematika, astronomi, kedokteran sampai obat-obatan. Bahkan, umat yang pernah mengilhami kemajuan Eropa hari ini. (Baca Juga: Kesamaan Iman, Faktor Pemersatu Persahabatan)
Jauh hari, para cendikiawan muslim semisal Jamaluddin, Abduh dan Iqbal menangkap kekhawatiran ini dan mulai meniupkan ide persatuan Islam. Meski berbeda metode, ketiganya terilhami oleh semangat Pan Islamism yang mencuat abad ke sembilan belasan.[3] Sayangnya, perjuangan mereka belum menemukan simpulnya sampai api revolusi Islam Iran berpijar.
Bola-bola api itu lalu berhamburan ke seluruh penjuru dunia menyiratkan kebangkitan baru dunia islam. Khomeini, menjadi lokomotif dalam gerakan Islam selanjutnya. Keberaniannya menentang para tiran, mengobarkan dada para pemuda muslim di berbagai belahan dunia. Tiba-tiba, dunia dikejutkan oleh sekelompok pemuda Libanon yang mampu memukul mundur Israel. Dunia juga tercengang oleh lemparan batu para pemuda di sudut-sudut Palestina. Di belahan lain, jutaan umat Islam mulai terbuka kesadarannya.
Tetapi, jumlah itu belum sebanding dengan mayoritas muslim yang ada. Masih banyak umat yang tertidur, padahal tantangan ke depan semakin besar. Perjuangan mengangkat martabat muslim masih panjang dan api kebangkitan Islam harus terus berkorbar. Maka, setelah sang guru mangkat, kini Khamenei yang bertugas melanjutkan misi persatuan umat.
Ayatullah Khamenei, tidak kalah serius dari gurunya dalam menyerukan nilai-nilai persatuan. Beberapa tahun pra Revolusi, saat beliau diasingkan di Propinsi Baluchestan, beliau menggagas upaya persatuan bersama Almarhum Maulavi Shahdad, seorang ulama besar Khuzestan. Beliau mengirim pesan kepada almarhum untuk membahas dan merumuskan asas persatuan hakiki antara Sunni dan Syiah. Rencana itupun, akhirnya terealisir setelah revolusi.
Pasca Revolusi, Ayatullah Khamenei semakin gigih memperjuangan persatuan Islam. Beliau sendiri pernah menghadiri konferensi interasional yang dihadiri oleh negara-negara anggota Gerakan Non-Blok dan negara Islam. Saat itu, mayoritas negara tidak berani menyinggung masalah pendudukan Soviet terhadap Afganistan. Hanya pidato beliau, sebagai wakil dari Iran, yang bernada tegas mengkritik AS dan Uni Soviet.
Pada Tahun 1969 Hs, Ayatullah Khamenei memprakarsai berdirinya Majma Takrib Baina al-Mazhab al-Islamiyah, sebuah lembaga yang bertujuan melakukan pendekatan kepada berbagai kelompok Islam. Terutama, mencari titik persamaan antara kelompok Syiah dan Ahli Sunnah. Setiap tahunnya, lembaga ini mengundang berbagai tokoh agama dari berbagai aliran Islam di dunia.
Di samping kiprah tersebut, Ayatullah Khamenei dalam berbagai kesempatan selalu menekankan pentingnya persatuan dunia Islam. Pada setiap musim haji, pesan persatuan tak pernah absen disampaikan kepada para jamaah yang datang dari seluruh penjuru dunia. Lebih dari itu, beliau secara khusus mencanangkan tahun ini, sebagai tahun kesatuan nasional dan persatuan Islam. Dengan menyaksikan potret dunia Islam yang terjadi saat ini, tentu saja ide tersebut menjadi sedemikian urgen.
Dari sinilah, penulis tertarik untuk mengkaji pemikiran beliau terkait dengan ide-ide persatuan Islam. Konsep persatuan dalam pandangan Ayatullah Khamenei didekati melalui qualitative approach dengan metode content analysis. Dalam hal ini, penulis akan menelaah berbagai naskah pidato serta pesan beliau yang berkenaan dengan tema persatuan, kemudian dianalisis dan diinterpretasi.[4]
Persatuan Islam: Melacak Arti dan Acuan
Secara leksikal, persatuan merupakan gabungan dari beberapa bagian.[5] Persatuan bisa memiliki dua arti, hakiki maupun metaforis. Bersatu secara hakiki adalah meleburnya dua unsur menjadi satu. Dalam realitasnya, persatuan ini mustahil untuk terwujud. Sedangkan secara metaforis, bersatu adalah perubahan dari satu unsur kepada unsur lainnya. Misalnya, perubahan air menjadi uap.
Dalam ranah politik, persatuan mengandung pengertian bersatunya dua atau lebih kelompok atau negara dengan menerima persamaan undang-undang politik, ekonomi dan keamanan.[6] Maka, persatuan Islam berarti bersatunya berbagai kelompok Islam dengan mengedepankan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam.
Dalam al-Qur’an, makna persatuan dapat dilacak dalam berbagai terma, misalnya: perdamaian, saling berpegang teguh, saling tolong-menolong, saling berhubungan, persaudaraan, kasih sayang, umat yang satu dan sebagainya[7]
Al-Qur’an menggambarkan persatuan dari berbagai sisi.
Pertama, Qur’an mengisyaratkan bahwa kecenderungan untuk bersatu, merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari eksistensi manusia.[8] Sejak umat pertama tercipta dan menghuni dunia, saat itu pula keinginan untuk bersatu muncul. Manusia, dengan tujuan untuk melangsungkan kehidupan serta mengurangi berbagi kesulitan, saling membantu antara satu dengan yang lainnya. Tetapi, karena berbagai faktor terjadilah pertikaian dan peperangan.
Kedua, Qur’an menjelaskan bahwa salah satu tugas kenabian adalah meluruskan perselisihan yang terjadi di tengah umat serta mengembalikannya kepada seruan Qur’an.[9] Ketiga, Qur’an menyebutkan tentang dampak dan pengaruh persatuan. Misalnya, dengan persatuan, umat Islam akan mencapai kemenangan serta kemuliaan.[10] Selain itu, masih banyak sisi-sisi lainnya yang dijelaskan dalam al-Qur’an.
Adapun riwayat yang menuturkan tentang persatuan, jumlahnya cukup banyak, baik dari kalangan Syiah maupun Ahli Sunnah dengan derajat mutawatir. Misalnya, hadist yang menjelaskan bahwa suatu hari Rasul Saw bersabda: Seorang Mukmin dengan Mukmin lainnya ibarat sebuah bangunan yang satu sama lain saling membutuhkan. Pada saat itu, Nabi Saw mengisyaratkan pada jari-jarinya.[11]
Tujuan Persatuan Islam: Kejayaan Umat
Sebuah ide, gagasan atau konsep, dapat terealisasikan secara baik, jika disertai tujuan yang mulia sekaligus universal. Demikian pula gagasan persatuan Islam yang digulirkan Ayatullah Khamenei, menyiratkan tujuan yang luhur, sebagaimana ditegaskannya:
Jika kaum Muslimin saling bahu-membahu dan mengasihi, meskipun satu sama lain berbeda keyakinan, dengan syarat tidak menjadi kendaraan musuh, maka dunia Islam akan mencapai kejayaan. Pada saat itulah, Amerika dan sekutunya tidak akan berani menjejakkan kaki di negeri Muslim, mendirikan pangkalan militer apalagi mengancam umat Islam.[12]
Dalam pesan tersebut, kejayaan Islam menjadi tujuan luhur yang tentunya juga menjadi cita-cita seluruh umat muslim di dunia. Dalam pernyataan yang lain, beliau menyebutkan bahwa tujuan itu dapat tercapai, jika seluruh negara Islam bekerjasama dengan baik.[13]
Melacak Akar Perpecahan
Ayatullah Khamenei sepenuhnya menyadari bahwa fenomena yang hari ini menimpa dunia Islam, akibat perpecahan di tubuh kaum Muslimin. Dalam pandangan beliau, terdapat berbagai faktor yang memicu perpecahan umat, baik dalam konteks internal maupun eksternal.
Secara internal, sebagian umat Islam, disadari atau tidak turut menyumbangkan terjadinya perpecahan, diantaranya adalah ketidaktahuan dan kebodohan. Karena faktor itu pula, mereka mengkafirkan sesama muslim. Rahbar, dalam salah satu pernyataannya menjelaskan:
Saat ini, sebagaian kalangan, karena pemikiran yang dangkal serta berbagai alasan yang tak mendasar, menuding mayoritas kaum Muslimin sebagai musyrik, bahkan sampai menghalalkan darah. Mereka, sadar atau tidak, tengah bekerja untuk kepentingan syirik, kekufuran serta kekuatan-kekuatan zalim.[14]
Di samping kebodohan, diabaikannya nilai-nilai moral merupakan faktor lain yang melemahkan persatuan. Disusul faktor-faktor seperti pemisahan agama dan politik, adanya jarak dengan Islam sejati serta keyakinan yang tidak disertai perbuatan, menjadi penyumbang perpecahan umat berikutnya.
Pada skala eksternal, imperialisme memiliki pengaruh kuat dalam melahirkan perpecahan di dunia Islam, baik imperialisme model klasik maupun neo imperialisme. Pasca perang dunia kedua, negara-negara bekas jajahan, termasuk negara Islam, harus menelan konflik lokal yang cukup parah. Saat inipun, para penjajah terus menghembuskan perpecahan di negara-negara muslim dengan menggunakan isu etnis, mazhab maupun partai.
Ayatullah Khamenei, dalam berbagai kesempatan menyebutkan keculasan para penjajah dalam mengobarkan perseteruan di tengah umat. Beliau menyebutkan bahwa pada saat berbagai negara dan para pemimpin dunia berkonsentrasi menyerukan perdamaian, para penjajah malah berupaya keras mematahkan persatuan berbagai bangsa, terutama umat Islam.[15]
Pada kesempatan lain, Ayatullah Khamenei menjelaskan berbagai perangkap yang digunakan kaum Imperialis untuk melemahkan posisi umat Islam, sebagaimana pernyataannya:
Kekuatan penuh Barat, menggunakan berbagai cara seperti budaya, ekonomi, politik dan keamanan untuk melemahkan berbagai negara serta umat Islam. Di samping juga, melakukan pembodohan, perpecahan serta kemiskinan[16]
Merintis Jalan Persatuan: Tinjauan Holistik
Ketika menyaksikan kondisi dunia Islam yang terjadi saat ini, umat sudah sangat menantikan berbagai pencerahan. Ayatullah Khamenei, dalam berbagai pidato dan pesan yang disampaikannya dalam berbagai kesempatan, mengemukakan sejumlah format persatuan yang cukup komprehensif. Dari hasil analisis penulis, setidaknya ada empat format penting dalam merintis jalan persatuan dunia Islam.
Pertama, memperkuat basis spiritualitas. Perjalanan menuju persatuan umat, membutuhkan nafas panjang. Maka menurut Ayatullah Khamenei, setiap umat harus kembali menata pandangan dunianya masing-masing. Setiap gerakan, aksi atau rencana apapun harus mengambil inspirasi dari nilai-nilai tauhid dan kenabian.[17] Setiap umat, harus kembali memperbaiki ketakwaan serta memetik pelajaran Ahklakul karimah dari Qur’an dan sang Nabi suci.
Kedua, menyiapkan dua sarana persatuan umat, kesadaran dan kasih sayang. Menurut Ayatullah Khamenei, untuk membentuk barisan umat yang bersatu diperlukan dua sarana vital yaitu kesadaran dan kasih sayang. Umat Islam, terlebih dahulu perlu menyadari bahaya musuh yang sedang mengancam dan bersikap tegas terhadap mereka. Dalam salah satu pernyataanya, beliau menegaskan:
Seluruh umat Islam di dunia harus lebih waspada menghadapi rencana dan konspirasi musuh-musuh Islam untuk memecah belah kaum muslimin dan terjadinya konflik berdarah sesama umat. Saat ini, musuh di Irak, Palestina, Libanon dan di setiap tempat di dunia Islam sedang berusaha menyulut peperangan saudara antar sesama Muslim. Mereka mempergunakan berbagai macam isu seperti mazhab, etnis, partai politik dan lain-lainnya untuk menggerakkan kaum Muslimin agar saling berhadap-hadapan dan saling bunuh.[18]
Pada sisi lain, umat dibimbing untuk saling mengasihi sesama muslim. Karena, dengan menebar kasih pada sesama Muslim, umat akan tergiring untuk saling menghormati serta tidak saling mencaci.[19] Lebih dari itu, kasih sayang juga dapat mengurangi berbagai ketegangan di tengah umat Islam. Sehingga, agenda persatuan lainnya akan dapat terealisasikan secara baik.
Ketiga, mengoptimalkan sinergi seluruh komponen umat. Dalam pandangan Ayatullah Khamenei, untuk mewujudkan cita-cita persatuan dunia Islam, diperlukan sinergi dari seluruh komponen umat, baik dari kalangan intelektual muslim, tokoh agama, politikus, negarawan, ilmuan, maupun budayawan. Tugas para intelektual adalah mengkaji kembali berbagai isu-isu kontemporer dalam bingkai Islam seperti: hak asasi manusia, kebebasan dan demokrasi, hak-hak perempuan, diskriminasi, memerangi kemiskinan dan keterbelakangan pengetahuan serta membongkar kedok media Barat.[20] Adapun, para politikus serta negarawan di negara-negara Islam harus berani mengambil kebijakan yang bersandar pada kemandirian bangsa serta menolak segala ketergantungan pada kaum Imperialis.[21] Demikian pula, seluruh umat harus bekerja keras dalam bidangnya masing-masing.[22]
Keempat, mengusung agenda yang jelas dan berkesinambungan. Gagasan persatuan umat, harus disertai dengan berbagai agenda yang menjadi persoalan dunia Islam dewasa ini. Dalam hal ini, Ayatullah Khamenei menyiapkan sejumlah tawaran agenda bersama umat Islam. Pertama, memperjuangkan keluarnya tentara asing dari Irak dan Afganistan serta mendukung berdirinya negara yang berdaulat penuh pada kedua negara tersebut. Kedua, Melindungi nyawa, harta, kemuliaan serta kebebasan rakyat Palestina secara materi maupun moral. Ketiga, mengumandangkan syiar-syiar Islam ke seluruh penjuru dunia. Keempat, merekatkan para pemimpin Islam serta menyelesaikan perselisihan diantara mereka. Kelima, berperan aktif dalam OKI dan mengkritisi kembali kebijakan hak veto.[23]Keenam, memanfaatkan momentum hari-hari besar Islam, sebagai upaya menggalang persatuan Islam, seperti Haji, Maulid Nabi dan Asyura.
Penutup: Menyongsong Masa Depan Dunia Islam
Jika hari ini, kita masih mendengar tangisan anak-anak di Palestina, masih menyaksikan kelaparan di Mozambiq atau kita masih berduka untuk Irak, Afganistan, Pakistan dan Tanah Islam lainnya, maka esok hari kita akan menyaksikan ketumbangan kaum imperialis. Dengan optimisme dan persatuan, masa depan dunia Islam akan kembali gemilang. Selamat menyongsong masa depan Islam! (Afifah Ahmad)
Catatan Kaki:
[1] ORB: Opinion Research Business, sebuah lembaga independen bersama mitranya the Independent Institute for Administration and Civil Society Studies (IIACSS) mengadakan riset di Irak antara Maret 2003-Agustus 2007. Lihat
[2] Bhai, Munnoo, Daily Times, 8 November 2003
[3] Lebih jauh dapat dilihat dalam buku Strategy Wahdat Andisye Islamy jilid 1 hal: 298
[4] Muhadjir Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif (2000) hal.68-71.
[5] Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, 2003
[6] Ensiklopedia Bustani juz 2 hal 440
[7] اصلحوا، واعتصموا، تعاونوا، رابطوا، اخوه، موده، امه واحده
[8] Qs. al-Baqarah :213
[9] Qs. an-Nahl : 64
[10] Qs. al-Anfal : 45-46
[11] Bukhari, bab keutamaan saling menolong kaum Mukmin hal: 87 CD
[12] Pesan Ayatullah Khamenei 11/7/1367
[13] Ibid, disampaikan pada acara Konferensi Persatuan Islam sedunia
[14] Ibid, pesan Haji 4 Dzulhijah 1428 Hq
[15] Ibid, acara pertemuan dengan sejumlah ulama, para Imam Jum’at, pengajar di seminari Ahli Sunnah asal propinsi Chestan-u Baluchestan, Khurasan dan Mazandaran, 5/10/1386
[16]Ibid, acara Kongres Haji, 19/10/84
[17] Lihat buku Mansyur Ittihad Milli va Insijam-e Islamy hal: 167
[18] Pesan Ayatullah Khamenei kepada umat Islam sedunia pada 24 Khordad 1386 Hs.
[19] Ibid hal: 171
[20] Pesan Ayatullah Khamenei pada para jamaah Haji, 8/11/82.
Lihat:
[21] Ibid
[22] Pesan Ayatullah Khamenei dalam Kongres Haji, 19/10/84
[23] Ibid, pesan Haji, 8/11/82.
Referensi:
Al-Qur'an
Alwi, Hasan dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga, Jakarta:
Balai Pustaka, 2003 M
Amirardusy, Muhammad Husain, Taamul Masalah-e Wahdat islamy az Dirbaz ta Diruz, Tehran:
Majma Jahani Taqrib Madzahib Islamy, 1384 Hs.
Muhadjir Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta:
Rakesarasin,2000.
Mutaqi, Ahmad, Strategy Wahdat Andisye Islamy, jilid 1, Qom:
Daftar Tablighat Islamy, 1375 Hs
Sabziyan, Ali Akbar, Mansyur Ittihad Milli va Insijam-e Islamy, Qom:
Intisyarat-e Khadim-e Ridha as, 1386 Hs
Sumber:
www.id.al-shia.org