• Black
  • perak
  • Green
  • Blue
  • merah
  • Orange
  • Violet
  • Golden
  • Nombre de visites :
  • 63
  • 3/9/2017
  • Date :

Imam Ali Ridha as; Mentari Khorasan

Salah satu julukan beliau adalah “Rauf” atau penyayang. Beliau as memiliki hubungan baik dengan orang kaya dan fakir-miskin, cerdik-pandai dan masyarakat awam, serta para pecinta bahkan musuh-musuh beliau.

imam ali ridha as; mentari khorasan

Imam Ali al-Ridha as lahir pada tahun 148 hijriah di kota Madinah. Di bawah bimbingan ayah beliau, Imam Musa al-Kadzim as, beliau siap memikul tanggung jawab berat itu. Imam Ali al-Ridha as, adalah mata air ilmu dan keutamaan. Amal dan kata-kata beliau penuh dengan keridhaan atas Allah Swt. Oleh karena itu, beliau diberi gelar al-Ridha. (Baca Juga: Memetik Teladan dari Kehidupan Imam Ridha as)

 

Beliau memikul tanggung jawab imamah selama 20 tahun yang sebagian besarnya dihabiskan di Madinah dan tiga setengah tahun terakhir masa hidupnya di kota Marv, Khorasan (Iran saat ini). Beliau meninggalkan Madinah atas paksaan penguasa Bani Abbasiah kala itu, Ma’mun.

 

Kriteria penting Imam as adalah memerangi kezaliman dan ketidakadilan. Beliau as bangkit melawan kebijakan arogan dan tipu daya penguasa Bani Abbas, Ma’mun lewat berbagai cara. Ma’mun sangat mengkhawatirkan pengaruh Imam as di tengah masyarakat dan para pemikir di seluruh pelosok negara Islam. Oleh karena itu, khalifah meminta Imam Ridha as untuk hijrah ke Marv, pusat pemerintahan Ma’mun. Imam as terpaksa menerima desakan itu.

 

Ma’mun berupaya mengurangi pengaruh pemikiran dan budaya Imam as di tengah masyarakat dan menciptakan jarak antara beliau dengan warga. Untuk itu, Ma’mun mengusulkan jabatan putra mahkota kepada Imam as dan memaksa beliau as untuk menerima tawaran ini.

 

Dengan syarat-syarat tertentu, akhirnya Imam as menerima jabatan putra mahkota. Salah satu syarat yang diajukan Imam as adalah bahwa beliau as tidak akan intervensi dalam urusan pemerintahan dalam kondisi apa pun. Secara keseluruhan, syarat-syarat ini telah menggagalkan Ma’mun dalam mencapai ambisi politiknya. (Baca Juga: Urgensi Membahas Politik Islam)

 

Imam Ridha as memiliki akhlak mulia dan beliau sangat dihormati baik rakyat biasa maupun ulama. Ibrahim bin Abbas menuturkan, “Sama sekali aku tidak pernah melihat Imam Ridha as berkata keras dengan seseorang atau memotong pembicaraan seseorang atau menolak orang yang membutuhkannya jika mampu memenuhi hajat orang itu.

 

Aku tidak pernah menyaksikan kakinya diulurkan di hadapan orang lain, bersandar pada saat kedatangan orang lain, memaki para hamba sahayanya, atau tertawa terbahak-bahak, bahkan tertawanya pun berupa senyuman…”

 

Ia menambahkan, tatkala Imam Ridha duduk di hadapan hidangan, ia pun menyuruh duduk semua hamba sahaya, pembantu, dan penjaga rumahnya di hadapan hidangan yang sama. Ia sedikit tidur dan banyak terjaga di malam hari.

 

Kebanyakan malamnya ia lalui dalam keadaan terjaga hingga saat subuh. Ia sangat banyak berpuasa. Ia tidak pernah meninggalkan puasa tiga hari dalam sebulan dan ia berkata, “Berpuasa tiga hari dalam setiap bulan memiliki pahala puasa dahr (setiap hari hingga akhir hayat, pent). Perbuatan ihsan dan sedekahnya dilakukan secara diam-diam dan pada malam hari. Jika ada orang yang mengira telah melihat lebih baik daripadanya, janganlah kalian percayai!

 

Salah satu julukan beliau adalah “Rauf” atau penyayang. Beliau as memiliki hubungan baik dengan orang kaya dan fakir-miskin, cerdik-pandai dan masyarakat awam, serta para pecinta bahkan musuh-musuh beliau.

 

Salah seorang sahabat Imam as berkata, “Setelah menyelesaikan tugas dan pekerjaannya, beliau as selalu bersikap ramah dan penuh kasih sayang terhadap anggota keluarga dan orang-orang sekitarnya. Setiap kali menyambut hidangan makan, beliau as selalu memanggil anak kecil, orang dewasa bahkan para pekerja.” Ketika para budak tidak memperoleh hak-hak minimalnya, Imam Ridha as memperlakukan mereka dengan baik dan penuh kasih sayang.

 

Mereka mendapat tempat dan dihormati di rumah sang Imam. Mereka banyak belajar etika dan nilai-nilai kemanusiaan dari Sang Imam. Selain memperlakukan mereka dengan kasih sayang, Imam as senantiasa menasehati bahwa jika kalian tidak memperlakukan manusia dengan seperti ini, maka kalian telah menzalimi mereka.

 

SalahSeorang yang menyertai Imam Ridha as berkata, “Dalam perjalanan ke Khorasan, aku menyertai Imam Ridha as. Suatu ketika Imam meminta dihidangkan makanan. Beliau as mengumpulkan seluruh rombongan di dekat jamuan, termasuk para budak dan orang-orang lain. Aku berkata kepada beliau: “Wahai Imam, sebaiknya mereka makan di tempat lain.” Beliau berkata: “Tenanglah! Pencipta kita semua adalah satu, ayah kita adalah Nabi Adam as dan ibu kita semua adalah Hawa. Pahala dan siksa bergantung pada perbuatan masing-masing.”

 

Julukan lain Imam Ridha adalah Alimu Aali Mohammad (cendikiawan Ahlul Bait Nabi). Julukan ini menunjukkan ketinggian ilmu beliau. Terkait hal ini Imam Ridha sendiri berkata, “Aku duduk di komplek makam Rasulullah Saw. Setiap ulama dan cendikiawan Madinah menghadapi kesulitan dan tidak mampu menyelesaikannya, mereka mendatangiku dan mendapatkan jawabannya.”

 

Kala itu Marv merupakan pusat ilmiah di tanah Khorasan. Imam Ali al-Ridha as menggunakan keunggulan tersebut untuk meningkatkan gerakan ilmiah. Di lain pihak, Ma’mun berusaha tampil dekat dengan Imam Ali al-Ridha demi kepentingan politiknya. Namun pada saat yang sama, dia selalu berusaha mencoreng keutamaan ilmu Imam Ali al-Ridha as dengan menggelar berbagai acara debat. Akan tetapi Imam dalam setiap sesi perdebatan, selalu menang dan bahkan mempengaruhi para ilmuwan yang hadir, dengan argumentasinya yang kokoh.

 

Islam adalah agama yang menyambut berbagai pertanyaan dan tidak pernah tercatat dalam sejarah bahwa para imam Ahlul Bait as tidak menjawab pertanyaan yang dikemukakan kepada mereka. Imam Ali al-Ridha as, berperan penting dalam perluasan budaya Islam. Dalam berbagai acara debat, Imam selalu mempertimbangkan hidayah dan bimbingan untuk lawan dan tidak berusaha untuk selalu menang.

 

Beliau membuktikan kebenaran keyakinan Islam dengan menggunakan argumentasi logis yang kokoh. Imam berkata, “Jika masyarakat memahami keindahan ungkapan kami maka mereka pasti akan mengikuti kami.” Dan terbukti betapa banyak musuh-musuh yang akhirnya menjadi teman di akhir acara perdebatan.

 

Imam Ali al-ridha as yang menguasai teknik-teknik argumentasi, selalu mempertimbangkan setiap dimensi. Pertimbangan atas tingkat budaya di masa itu dan penyesuaian istilah-istilah yang digunakan, semuanya harus sesuai dengan kemampuan logika dan pemikiran lawan debat.

 

Terkadang dalam berdebat dengan para ilmuwan Imam Ali al-Ridha as, menekankan pada berbagai sisi dan argumentasi yang juga diterima oleh lawan debat. Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah soal debat antara Imam Ali al-Ridha as dan para tokoh Kristen dengan menggunakan argumentasi kitab Injil dan juga dalam pembahasan dengan tokoh Yahudi dan menggunakan argumentasi dari kitab Taurat.

 

Meski memiliki tingkat keilmuwan tinggi, akan tetapi Imam tidak merendahkan lawan debat beliau. Imam selalu menjaga kehormatan pihak seberang meski sebagiannya tidak beragama. Jika perdebatan sampai pada titik di mana pihak lawan tidak lagi bisa menjawab, beliau membimbingnya atau mengutarakan sebuah pertanyaan sehingga pembahasan mereka menghasilkan. Bahkan terkadang beliau menjawab pertanyaan lawan dengan mengatakan, “Jika kau bertanya seperti ini maka pendapat kamu sendiri akan tertolak.”

 

Di antara lawan debat Imam Ali al-Ridha as, adalah seseorang bernama Amran Sabi, yang tidak meyakini adanya Allah Swt, di mana setelah menyaksikan sikap dan argumentasi Imam, dia beriman kepada Allah Swt dan memeluk agama Islam. Sepanjang perdebatan, Imam memanggil Amran dengan nama kecilnya sehingga dengan demikian terjalin keakraban dan tercipta suasana santai.

 

Selama tanya jawab berlangsung, Imam ketika menjawab pertanyaan Amran Sabi beliau mengatakan, “Wahai Amran, apakah kau paham?” Sikap itu sedemikian rupa sehingga Amran juga memberikan jawaban secara terhormat dan mengatakan, “Iya, tuanku.”

 

Tujuan dan maksud para pendebat adalah harus sampai pada hakikat yang jelas dan tak tergoyahkan. Itu hanya dapat tercapai ketika perdebatan jauh dari fanatisme dan permusuhan. Imam Ali al-ridha as dengan akhlak yang mulia, tidak menuding lawan beliau telah berbohong dan juga tidak pernah menistakan atau merendahkan mereka. Melainkan beliau selalu mengingatkan titik kekeliruan dan penyimpangan mereka. Beilau tidak pernah mengkritisi individu melainkan mengkritisi masalah pembahasan.

 

Perdebatan Imam Ali al-Ridha as, membawa banyak berkah untuk dunia Islam termasuk di antaranya adalah menunjukkan citra kebebasan dalam Islam. Imam telah mematahkan klaim dan kebohongan banyak pihak bahwa Islam memaksakan kehendak dan menghunuskan pedang kepada para penentangnya. Namun tampilnya Imam Ali al-ridha as, telah jelas bagi semua orang bahwa Islam menyambut perbedaan pendapat bahkan meski dari pihak yang menafikan tauhid dan menentang Islam.

 

Termasuk di antara berkah dan manfaat perdebatan Imam al-ridha as, adalah membuka lahan yang kondusif bagi penyebaran risalah Islam dan perluasan khazanah ilmu Islam, serta jawaban tegas secara ilmiah kepada para penentang Islam. Metode-metode dakwah Imam Ali al-Ridha as dalam berbagai acara perdebatan memiliki pengaruh yang luar biasa untuk menyingkap penyimpangan anti-Islam dalam masyarakat, sekaligus menjelaskan posisi luhur Ahlul Bait as.

 

Sumber:
www.parstoday.com
www.syiahmenjawab.com

 

  • Print

    Send to a friend

    Comment (0)