• Black
  • perak
  • Green
  • Blue
  • merah
  • Orange
  • Violet
  • Golden
  • Nombre de visites :
  • 39
  • 20/6/2017
  • Date :

Metode Menentukan Awal Bulan

Tolok ukur dari penentuan awal bulan adalah hilal (bulan sabit) yang terbit setelah matahari terbenam, yang memungkinkan untuk dapat dilihat sebelum tenggelamnya. Karena itu, hilal yang tenggelam sebelum tenggelamnya matahari atau bersamaan dengan tenggelamnya matahari dianggap tidak mencukupi.

metode menentukan awal bulan

Metode-metode untuk menentukan awal bulan terdiri dari:

1.  Rukyat (melihat bulan) dari mukalaf itu sendiri

 

2. Kesaksian dari dua orang adil

 

3. Kemasyhuran yang menimbulkan keyakinan dan pengetahuan

 

4. Berlalunya tiga puluh hari

 

5. Hukum dari Hakim

 

(Ajwibah al-Istifta’at, No. 848)

 

Penjelasan:

Tolok ukur dari penentuan awal bulan adalah hilal (bulan sabit) yang terbit setelah matahari terbenam, yang memungkinkan untuk dapat dilihat sebelum tenggelamnya. Karena itu, hilal yang tenggelam sebelum tenggelamnya matahari atau bersamaan dengan tenggelamnya matahari dianggap tidak mencukupi. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 834) (Baca Juga: Dua Macam Hukum; Tetap (Awwali) dan Tak-Tetap (Tsanawi))

 

Catatan:

Tidak ada perbedaan antara rukyat dengan menggunakan peralatan dan rukyat biasa, keduanya bisa diakui kebenarannya. Tolok ukurnya adalah bahwa hal tersebut dapat dikatakan sebagai perbuatan rukyat (melihat). Karenanya, hukum rukyat dengan mata (telanjang) dan rukyat dengan kacamata dan sebagainya adalah sama. Memang, pengambilan gambar hilal dengan menggunakan alat komputer dan sarana-sarana semacamnya yang tidak dapat dipastikan sebagai perbuatan rukyat adalah bermasalah (isykal). (Ajwibah al-Istifta’at, No. 835)

 

Istihlal (melihat hilal) secara sendirinya bukanlah merupakan kewajiban syar’i. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 847)

 

Hanya dengan kecil dan rendahnya hilal atau besar dan tingginya dan sebagainya tidak dapat dianggap sebagai bukti malam pertama atau kedua, tetapi bila dengan hal tersebutmukalaf mendapatkan keyakinan terhadap sesuatu maka dia harus bertindak sesuai dengan keyakinannya dalam masalah ini. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 845 dan 846)

 

Awal bulan tidak bisa dibuktikan melalui kalender dan perhitungan ilmiah para ahli perbintangan kecuali bila perkataan mereka menimbulkan keyakinan. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 834, 848)

 

Bila pada sebuah kota telah dibuktikan awal bulan maka hal ini dianggap mencukupi untuk kota-kota lain yang berdekatan dengannya, demikian juga untuk kota-kota terpencil yang memiliki satu ufuk. Bila di sebelah timur sebuah negara telah terlihat bulan maka hal ini telah dianggap mencukupi untuk orang-orang yang berada di sebelah barat dari kota tersebut (misalnya awal bulan telah terbukti di kota Masyhad, tentu saja hal ini telah mencukupi bagi orang-orang yang berada di kota Teheran, tetapi sebaliknya tidaklah mencukupi). (Ajwibah al-Istifta’at, No. 837, 838 dan 840)

 

Catatan:

Yang dimaksud dengan kesatuan ufuk adalah kota-kota yang berada dalam satu garis bujur. Karena itu bila dua kota berada dalam satu garis bujur (yang dimaksud garis bujur di sini adalah dalam istilah astronomi [perbintangan]) berarti mereka berada dalam satu ufuk. Secara global, perbedaan antara ufuk dua kota dapat menyebabkan hilal bisa dilihat di satu kota dan tidak bisa dilihat di kota lainnya, karena itulah rukyat di kota sebelah barat tidak cukup bagi para penduduk di kota sebelah timur yang masa terbenamnya matahari berlangsung lebih cepat daripada barat, namun tidak demikian dengan sebaliknya. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 837, 839 dan 840)

 

Hanya dengan terbuktinya kemunculan hilal bagi seorang hakim tidaklah mencukupi untuk diikuti oleh orang lain selama hakim belum memutuskannya, kecuali jika ia (selain hakim) memiliki keyakinan terhadap kemunculan hilal. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 843)

 

Catatan:

Bila seseorang melihat hilal bulan dan mengetahui bahwa rukyat hilal untuk hakim syar’i di kota tempat tinggalnya tidak memungkinkan dari segala sisi, maka tidak ada kewajiban baginya untuk memberitahukan rukyat hilal ini kepada hakim syar’i, kecuali jika dengan meninggalkan hal tersebut akan menimbulkan dampak-dampak yang negatif (mafsadah). (Ajwibah al-Istifta’at, No. 842) (Baca Juga: Makna kaidah fikih yang menyatakan al-hâkim wali al-mumtani’)

 

Jika hakim memutuskan (mengeluarkan hukum) bahwa besok adalah hari raya dan hukum ini berlaku untuk seluruh penjuru negeri, maka hukum ini secara syar’i berlaku untuk seluruh kota dalam satu negara. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 844)

 

Dalam mengikuti pengumuman rukyat hilal melalui suatu pemerintahan, tidak disyaratkan keislamannya pemerintahan tersebut, melainkan tolok ukurnya dalam kasus ini adalah dihasilkannya kemantapan dan keyakinan yang cukup terhadap rukyat di wilayah tempat tinggal mukalaf. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 849)

 

Bila hilal bulan tidak bisa dilihat dari suatu kota tetapi televisi dan radio menyiarkan keadaan tersebut, jika hal ini mampu menghasilkan keyakinan terhadap kemunculan hilal atau dikeluarkannya hukum tentang hilal dari wali fakih, maka hal tersebut telah dianggap mencukupi dan tidak memerlukan penelitian. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 836)

 

Bila awal bulan tidak bisa dibuktikan melalui rukyat hilal bahkan di ufuk kota-kota berdekatan yang memiliki satu ufuk atau dari kesaksian dua orang adil atau dari hukum hakim, maka mukalafwajib untuk melakukan ihtiyath hingga awal bulan terbukti. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 837)

 

Bila awal bulan Ramadan belum terbukti, maka tidak ada kewajiban untuk melakukan puasa. Tetapi bila kemudian terbukti bahwa hari itu merupakan awal bulan Ramadan, maka dia wajib untuk mengkadanya. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 846)

 

Hari ketika seseorang ragu [apakah hari itu] merupakan hari terakhir bulan Ramadan ataukah awal bulan Syawal, maka dia wajib untuk berpuasa. Tetapi bila pada pertengahan hari diketahui ternyata hari tersebut adalah awal bulan Syawal, maka dia harus melakukan ifthar (berbuka), meskipun telah mendekati magrib. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 846)

 

Lain-lain

Pada tempat yang mayoritas masyarakatnya pada malam-malam bulan Ramadan terjaga untuk membaca al-Quran, doa, mengikuti ritual-ritual keagamaan dan sejenisnya, menyiarkan program-program khusus sahur-sahur pada bulan ini melalui pengeras suara masjid supaya didengar oleh semuanya, tidaklah bermasalah. Namun, bila hal ini akan mengganggu tetangga masjid, maka tidak diperbolehkan. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 831)

 

Membaca doa-doa khusus bulan Ramadan yang termaktub dalam bentuk doa-doa dari hari pertama hingga hari terakhir, bila dilakukan dengan maksud untuk mencari pahala, maka hal ini tidaklah bermasalah. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 831)

 

Jika seseorang tengah berpuasa mustahab, maka tidak ada kewajiban baginya untuk menyelesaikannya hingga akhir dan dia bisa berbuka kapan saja dia inginkan. Bahkan bila ada orang lain yang mengundangnya makan, mustahab baginya untuk memenuhi undangan tersebut lalu melakukan ifthar pada pertengahan hari. Makan dalam undangan salah seorang saudara mukmin meskipun hal ini akan membatalkan puasa tetapi tidak akan menghilangkan pahala puasanya. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 830)

 

Jika pelaku puasa telah melakukan ifthar pada saat terbenamnya matahari di negaranya, kemudian dia melakukan perjalanan ke tempat lain yang saat itu matahari belum terbenam, maka puasanya tetap dianggap sah dan di tempat tersebut sebelum matahari terbenam pun dia diperbolehkan melakukan hal-hal yang bisa membatalkan puasa meskipun, misalnya, dia telah melakukan ifthar di negaranya sendiri ketika matahari telah terbenam. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 826)

 

Jika seseorang berpuasa dari awal bulan Ramadan hingga hari kedua puluh tujuh di watannya sendiri, kemudian pada pagi hari kedua puluh delapan dia melakukan perjalanan ke sebuah kota yang seufuk dan tiba di sana pada hari kedua puluh sembilan, lalu dia menyadari ternyata di tempat tersebut hari raya telah diumumkan, maka jika pengumuman hari raya pada hari kedua puluh sembilan di tempat tersebut sesuai dengan tata cara syar’i dan dilakukan dengan benar, dia tidak memiliki kewajiban untuk mengkada puasanya hari itu. Akan tetapi, dengan kasus seperti ini berarti dia telah meninggalkan satu hari puasa pada hari pertama awal bulan. Karena itu, dia wajib untuk mengkada puasanya yang yakin telah dia tinggalkan. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 825)

 

Sumber:

www.studisyiah.com

 

 

  • Print

    Send to a friend

    Comment (0)