Syarif Radhi: Ulama Begawan Sastra
Dalam sejarah, tidak banyak dijumpai dua bersaudara yang sama-sama berdiri di tingkat kepeloporan ilmu pengetahuan. Syarif Radhi satu di antara mereka. Bersama saudaranya, Sayyid Murtadha Alam al-Huda, ia berkontribusi besar dalam pengembangan peradaban dan kebudayaan Islam. Namanya disegani oleh banyak kalangan.
Lahir pada tahun 395 H. dengan nama Muhammad di kawasan penduduk Syi’ah Baghdad bernama Kurkh, di sebuah rumah penuh iman, ikhlas, ilmu dan amal. Ia yang kemudian lebih dikenal dengan panggilan Syarif Radhi atau Sayid Radhi ini muncul dari tengah keluarga yang telah banyak menyumbangkan tokoh-tokoh ulama, pesuluk, pezuhud, dan penyandang takwa. Ayah dan ibunya sama-sama dari keturunan Imam Husain bin Ali as. Dari sisi ayah, nasabnya sampai keImam ketujuh dengan lima perantara. Itulah sebabnya, kadang-kadang Syarif Radhi dipanggil dengan sebutan Radhawi. Adapun dari sisi ibu, nasabnya bersambung ke Imam Zainul Abidin dengan enam perantara.
Mengenai keagungan ibunya yang bernama Fatimah, cukup kiranya fakta ini menjelaskan bahwa Syekh Mufid ra. menulis buku Kitâb Al-Nisâ’ untuknya, dan di pengantar buku itu ia menyebut ibu Syarif Radhi sebagai puteri yang tersanjung.
Mimpi Yang Menentukan
Abad ke-IV dan ke-V adalah era keemasan Baghdad. Dari sisi ilmu dan sastra, kota ini berada di puncak keagungan dan popularitasnya. Kehadiran tokoh bintang di sana telah mengundang siapa saja yang kehausan ilmu datang ke sana. Salah satu ulama dan fakih terkemuka yang aktif di sana adalah Muhammad bin Nu’man yang lebih dikenal dengan sebutan Syekh Mufid. Dia mendirikan lembaga pendidikan untuk membina potensi-potensi para muridnya, dan dari hari ke hari lembaga pendidikan itu semakin terkenal.
Suatu hari, sebagaimana hari-hari yang sebelumnya, Syekh Mufid menginjakkan kakinya ke dalam Masjid dan kemudian memulai kuliahnya. Tidak lama kemudian, tiba-tiba ada tamu datang.
Ya, seorang wanita terhormat yang menggandeng tangan dua anaknya yang masih kecil. Dengan wibawa yang tinggi, wanita itu menghadap Syekh seraya berkata, “Wahai Syekh! Mereka ini anak-anakku: Sayid Murtadha dan Sayid Radhi. Sengaja saya bawa mereka ke sini agar Anda ajarkan ilmu fikih kepada mereka.” Mendengar ucapan itu, Syekh langsung meneteskan air mata …” Hadirin saat itu tercengang dan ingin tahu apa yang membuat guru mereka menangis. “Betapa menakjubkannya!” kata-kata guru ini memecah keheningan dan menarik perhatian murid-murid. Lalu Syekh berkata dengan air mata yang mengalir di pipinya, “Sekarang, aku baru tahu hakikat yang sebenarnya, dan mimpi anehku itu jadi terungkap.” Ia melanjutkan, “Tadi saya bermimpi duduk di masjid ini sambil mengajar. Tiba-tiba saya melihat puteri dua dunia, Fatimah Zahra as. yang menggandeng dua tangan putranya, Imam Hasan dan Imam Husain as. Beliau menemuiku dan berkata, “Wahai Syekh! Sengaja saya bawa dua anakku, Hasan dan Husain ini, untuk kamu ajari fikih.” Manisnya pertemuan itu masih aku rasakan dan aku terjaga dari tidur. Aku hanyut dalam pikiran, ya Allah, siapa aku? Mereka berdua adalah Imam-imam suci! Aku pun datang ke masjid ini dengan masih mengusung pikiran itu, sampai kemudian keturunan Fatimah Zahra as. ini datang kemari dengan dua kuncup bunga muhammadi, sehingga terungkaplah makna mimpiku yang aneh itu.” Sejak saat itulah Syekh Mufid membina Sayid Murtadha dan Sayid Radhi dengan usaha yang maksimal.
Cinta Ilmu
Sejak kecil, Sayid Radhi menimba ilmu dengan cinta dan semangat yang tinggi. Di samping kegigihan dalam belajar, dia juga telah dianugerahi kejeniusan yang luar biasa, sehingga semua itu mempercepat kemajuan intelektual dan sastranya. Di abad ke-IV H, pertikaian antar mazhab sudah redup. Itulah kenapa pada masa itu dua aliran besar Ahli Sunnah dan Syi’ah hidup bersama secara damai dan toleran, sehingga masing-masing dari ulama mereka bebas mengutarakan gagasan dan menyebarkan mazhab mereka. Sayid Radhi berusaha menggunakan kesempatan yang istimewa ini sebisa mungkin, berbagai ilmu seperti Qiraat Al-Qur’an, Saraf, Nahwu, Hadis, Teologi, Fikih, Usul Fikih, Tafsir, puisi dan lain-lain dia pelajari dengan gigih, sehingga pada usianya yang keduapuluh tahun dia sudah berada di barisan para guru dan peneliti kenamaan.
Sebagian ulama tersohor Sayid Radhi adalah:
1- Abu Ishaq Ibrahim bin Ahmad Thabari (393 H.); seorang fakih, sastrawan, dan penulis kawakan. Sayid Radhi belajar Al-Qur’an di masa kecil darinya.
2- Abu Ali Farisi (377 H.); tokoh ulama, sastra, dan pakar di bidang ilmu nahwu pada zaman itu.
3- Abu Sa’id Sirafi (368 H.); tokoh ulama dan pakar ilmu nahwu yang juga bertugas sebagai hakim di pengadilan Baghdad.
4- Qadhi Abdul Jabbar Baghdadi; spesialis di bidang ilmu hadis dan sastra.
5- Abdurrahim bin Nabatah (374 H.); orator kawakan dan kenamaan Syi’ah, dia lebih dikenal dengan sebutan Khathib Mishri. Sayid Radhi belajar sebagian teknik-teknik puisi dari dia.
6- Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad Asadi Akfafi (405 H.); ulama yang mulia dan terkenal takwanya, dia juga duduk di bangku pengadilan Baghdad sebagai hakim.
7- Abu Fath Usman bin Jani (392 H.); sastrawan yang mahir di bidang ilmu nahwu dan saraf.
8- Abu Hasan Ali bin Isa (420 H.); pakar puisi dan tokoh di bidang ilmu bahasa dan sastra.
9- Abu Hafsh Umar bin Ibrahim bin Ahmad Kanani; muhadis yang terpercaya. Sayid Radhi belajar hadis darinya.
10- Abu Qasim Isa bin Ali bin Hadis bin Dawud bin Jarrah (350 H.); pakar bahasa dan muhadis terkemuka yang terpercaya.
11- Abu Abdillah Marzbani (384 H.); ahli hadis yang dipercaya juga oleh Syekh Shaduq.
12- Abu Bakar Muhammad bin Musa Kharazmi (403 H.); seorang fakih besar dan guru hadis.
13- Abu Muhammad Harun Tal’akbari (385 H.); seorang fakih terkemuka dan penulis buku Jawâmi‘ di bidang ilmu-ilmu agama.
14- Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad Nu’man yang dikenal dengan sebutan Syekh Mufid (413 H.); ulama besar yang jarang ada tandingannya di dunia Islam.
Sastra Bahasa dan Seni Puisi
Sayid Radhi tergolong tokoh terbesar di bidang sastra dan kefasihan yang dilatarbelakangi perasaan yang benar dan selera yang sehat. Kasidah-kasidah pertamanya dia buat secara khusus untuk memuji Ahli Bait as. pada usianya yang masih sembilan tahun, begitu indahnya kasidah itu sehingga membuat semua orang terkesima padanya. Sepanjang hidupnya, dia telah meninggalkan karya-karya yang sangat berharga, di antaranya adalah Kumpulan Puisi-Puisi yang, menurut laporan Tsa’alibi, sebanyak empat jilid. Ia dijuluki juga dengan Asy’aru Quraisy atau Asy’aru ‘Arab; yakni orang yang paling ahli puisi di antara kaum Quraisy dan Arab.
Ayah Sayid Radhi menjalani hidupnya di penjara Syiraz sampai runtuhnya kekuasaan Adhud Daulah Dailami. Selama itu, Sayid Radhi menjalani hidupnya dengan rasa sedih sekaligus kangen kepada sang ayah. Pada masa kekuasaan Shamsham Daulah, ayah Sayid Radhi yang bernama Abu Ahmad dibebaskan dari penjara, dan kebebasan itu disambut oleh Sayid Radhi dengan puisi-puisi yang indah dan hangat.
Jabatan Pemerintahan
Sayid Radhi adalah ulama yang konsisten, bertanggungjawab, dan suka mengabdi. Dia gunakan ilmunya untuk mencerahkan pemikiran masyarakat, dia gunakan pengaruh sosial – politiknya untuk membangun potensi-potensi yang tulus dan menolong sesama manusia. Sayid Radhi tidak mau mengurung dirinya di pojok perpustakaan, penjuru masjid atau sekolahan, dia tidak suka menutup diri dari orang lain. Dia memandang misinya bukan sekedar diskusi, penelitian, penulisan buku, puisi dan kesusastraan, melainkan dia meneladani Amirul Mukminin Ali as. seraya menolong orang-orang yang tertindas atau fakir miskin, dan tentunya dia juga menolong agama Allah sebagai puncak tujuan. Dia mabuk pengabdian, dan bukan mabuk kekuasaan. Untuk itu, dia hanya siap memikul tanggungjawab atau menduduki jabatan-jabatan yang bernuansa sosial, seperti memimpin haji, mendaftar dan menuntut hak-hak orang yang terzalimi dan lain sebagainya. [9]
Hubungan dengan Khalifah Abbasiah
Sayid Radhi memandang semua Khalifah Abbasiah sebagai perampas kekuasaan dari haknya. Ia sangat menentang mereka, khususnya khalifah yang bernama Alqadir Billah; khalifah yang sombong, budak kekuasaan, fanatik, pendengki dan pendendam. Khalifah ini berkali-kali mencari alasan untuk menteror kepribadian sosial, citra intelektual dan spiritual Sayid Radhi. Sebaliknya, Sayid Radhi mengungkapkan kebenciannya terhadap khalifah tersebut melalui puisi-puisinya yang menggelegar seperti petir di tengah masyarakat.
Ketika puisi-puisi berapi Sayid Radhi sampai ke telinga Khalifah Alqadir Billah, dia langsung kebakaran jenggot dan murka. Oleh karena itu, dia segera menyelenggarakan sebuah majelis agar bisa mengundang Sayid Radhi ke sana dan kemudian membalas dendam padanya. Tapi Sayid Radhi menolak undangan itu dan tidak mau hadir di sana. Khalifah marah sekali atas ketidakhadirannya, sehingga dia mencopot semua jabatan sosial yang dipikul olehnya.
Sayid Radhi adalah orator yang gagah berani. Dia sama sekali tidak takut pada para penguasa. Dia selalu menanti kesempatan yang tepat untuk meluapkan teriakan keras dari lubuk hati yang paling dalam melawan penguasa tiran; dan sebaliknya, menyebarkan keadilan Amirul Mukminin Ali as., sayid pejuang ini sering mengungkapkan puisi-puisi heroiknya kepada teman-teman dekatnya di majelis-majelis khusus mereka. Menurut sudut pandang politiknya yang menjulang, dia jauh lebih baik dan berhak daripada khalifah tersebut.
Suatu hari, Sayid Radhi duduk di majelis Khalifah Altha’i’ Billah dengan sikap yang tidak peduli terhadap posisi dan hegemoni khalifah, sikap itu dia tunjukkan dengan cara memegang janggut dan menggerak-gerakannya ke atas. Khalifah menangkap gejala itu, lalu dia ingin menghina Sayid Radhi dan menyombongkan kekuasaannya seraya berkata, “Apa kamu pikir kamu sudah menghirup bau khilafah?!” Sayid Radhi dengan tenang dan gagah berani menjawab, “Bahkan aku telah menghirup bau nubuwah (kenabian)!”
Pusat Pendidikan
Sejak dia masih belajar dan setelah lulus, Sayid Radhi giat mendidik para pelajar yang haus ilmu dan makrifat. Di pusat pendidikannya, dia membina murid-murid kebanggaan. Masing-masing mereka gemilang ibarat bulan di angkasa ilmu dan budaya. Di antara mereka adalah:
1- Sayid Abdullah Jurjani yang dikenal dengan sebutan Abu Zaid Kiabaki;
2- Syekh Muhammad Halwani;
3- Syekh Ja’far Darwisti (473 H.);
4- Syekh Thusi (460 H.);
5- Ahmad bin Ali bin Qudamah yang dikenal dengan sebutan Ibnu Qudamah (486 H.);
6- Abu Hasan Hasyimi;
7- Mufid Nisyaburi (455 H.);
8- Abu Bakar Nisyaburi Khuza’i (480 H.);
9- Qadhi Abu Bakar Akbari (472 H.);
10- Miyar Dailami.
Rumah Ilmu
Syarif Radhi adalah ulama yang merasakan derita rakyat. Dia lebih memilih sengatan hasut atau caci maki daripada pengasingan diri ala rahib. Dia senantiasa hadir dan giat di kancah pengabdian, dia sendiri siap memikul tanggungjawab-tanggungjawab sosial.
Selain kesibukannya sebagai amir haji, pembela hak-hak kaum yang teraniaya dan lain-lain, Sayid Radhi juga selalu memikirkan pendidikan para pelajar. Untuk itu, dia memikirkan rencana baru untuk meningkatkan strata pendidikan mereka. Hasilnya, dia mendirikan lembaga pendidikan. Meskipun dia bukan orang yang kaya raya, akan tetapi ketika dia melihat murid-murid selalu mengikutinya, maka dia membelikan rumah yang praktis menjadi pusat pendidikan 24 jam, dia memberinya nama Darul Ilm. Sayid Radhi memfasilitasi Darul Ilm dengan perpustakaan dan gudang penyimpanan barang-barang yang diperlukan.
Perlu diketahui bahwa Rumah Ilmu (Darul Ilm) ini didirikan oleh Sayid Radhi puluhan tahun sebelum didirikannya Madrasah Nidzamiah Baghdad oleh Khajeh Nidzamul Malik Thusi (457 H.). Khajeh Thusi membangun madrasah itu sekitar delapan puluh tahun setelah Sayid Radhi membangun Rumah Ilmu tersebut.
Membina Jiwa
Sayid Radhi adalah orang yang terbina jiwanya, dia memandang kepribadian dan keagungan orang lain dari sisi nilai-nilai manusiawi dan spiritual mereka yang tinggi. Itulah kenapa selama hidupnya dia memilih gaya hidup hemat dan sederhana. Karena, dia hidup dengan jiwa kana’ah –atau mental cukup akan apa yang dimiliki seseorang- yang selalu menjaganya dalam kekayaan yang sejati. Dia tidak pernah mengulurkan tangan serakah kepada orang lain. Oleh sebab itu, semangatnya yang tinggi dan karakteristiknya yang mulia telah menjadi buah bibir, baik masyarakat umum maupun kalangan istimewa.
Banyak sekali fakta ciri-ciri moral Sayid Radhi yang sampai kepada kita, di antaranya riwayat dari Abu Muhammad Mahlabi, menteri Khalifah Baha’ud Daulah, “Suatu hari saya mendapat berita bahwa Allah telah mengaruniai anak putra kepada Sayid Radhi, saya jadikan itu sebagai peluang untuk menjalin hubungan dengan dia. Saya perintahkan budak-budak untuk menyediakan bejana, kemudian saya letakkan uang dua ribu dinar di dalamnya dan saya mengirimnya sebagai cendera mata atau hadiah kepada dia dalam rangka kelahiran putranya.
Sayid menolak hadiah itu seraya mengirimkan pesan, “Sudah barang tentu menteri tahu, dan kalau dia tidak tahu, maka sebaiknya dia tahu bahwa aku tidak menerima jalinan hubungan seperti ini dari orang lain.” Saya optimis sekali kegigihan dapat membuahkan hasil, sekali lagi saya mengirimkan bejana penuh dengan emas dan perak sambil berpesan, “Terimalah hadiah ini dan berikan saja kepada perawat-perawat.” Dia tetap menolaknya sambil berpesan, “Perawat-perawat itu bukan orang asing di rumah kami, dan bukan budaya kami membiarkan orang-orang asing keluar – masuk rumah kami, mereka (perawat-perawat itu) adalah famili kami dan tidak menerima hadiah-hadiah seperti itu.”
Untuk ketiga kalinya saya mengirimkan bejana penuh emas dan perak itu kepadanya dengan pesan, “Kalau pun kamu tidak mau menerima hadiah ini, maka bagikanlah kepada murid-murid yang belajar padamu.” Ketika bejana itu sampai kepadanya, dia berkata kepada para pelajar, “Siapa saja di antara kalian yang membutuhkan uang ini, silahkan mengambil.” Saat itu juga satu di antara mereka bangkit dan mengambil satu koin dinar, lalu dia menggunting sebagian dan meletakkan sisanya di bejana. Adapun selain dia tidak ada lagi yang mengambil uang itu.
Syarif Radhi bertanya kepada pelajar yang mengambil uang itu, “Untuk apa kamu mengambil sebagian dari dinar itu?!” dia menjawab, “Tadi malam, ketika saya sedang belajar, minyak pelita saya habis. Pembantu madrasah tidak ada dan gudang madrasah pun tutup, sehingga saya tidak bisa mengambil minyak dari sana. Terpaksa saya meminjam sedikit minyak tanah dari warung sebelah. Dan sekarang, saya mengambil secuil dinar itu untuk melunasi pinjaman tersebut.” Setelah mendengar jawaban si pelajar, Sayid Radhi memerintahkan agar kunci gudang madrasah diduplikat sebanyak jumlah murid di sana, agar masing-masing dapat mengambil sendiri kebutuhannya dari sana.”
Karya Ilmiah
Sejak remaja, Sayid Radhi sudah mulai menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dan menerangkannya. Setelah menguasai ilmu-ilmu Al-Qur’an di samping lezatnya bacaan Al-Qur’an di masa kecil, dia perkenalkan dirinya dengan dunia keindahan dan penyegar ruh yang luasnya tak terbatas dan ujungnya tak tercapai. Sayid Radhi hanyut dalam keindahan ayat-ayat Al-Qur’an yang terang benderang, lalu dia merenggut pena untuk menuangkan setetes dari lautan ajaran-ajarannya yang tak terhingga ke atas lembaran-lembaran masa. Hasil karsa ilmiah penuh ikhlas ini adalah tiga karya berharga yang ditinggalkannya untuk generasi-generasi akan datang, yaitu:
1- Talkhîsh Al-Bayân ‘An Majâzât Al-Qur’ân;
2- Haqô’iq Al-Ta’wîl Fî Mutasyâbih Al-Tanzîl;
3- Ma‘ânî Al-Qur’ân.
Karya-karya lain Sayid Radhi adalah: Khosô’ish Al-A’immah, Al-Ziyâdât Fî Syi‘r Abî Tamâm, Ta‘lîq Khilâf Al-Fuqohâ’, Kitâb Majâzât Âtsâr Al-Nabawiah, Ta’lîqoh ‘Alâ Îdhôh Abî ‘Alî, Al-Jiad Al-Hujâj, Mukhtâr Syi‘r Abî Ishâq Al-Shôbî, Mâ Dâro Bainahu Wa Baina Abî Ishâq Min Al-Rosâ’ir, dan kumpulan puisi-puisi.
Nahj al-Balaghah
Setiap hari yang berlalu, pasti ada lembaran emas baru yang ditambahkan oleh Sayid Radhi terhadap sejarah gemilang Islam. penanya yang lancar dan ilmunya yang berlimpah telah memberikan kontribusi-kontribusi yang sangat berharga. Dia menulis tafsir untuk buku wahyu Ilahi, dia bukukan hukum-hukum fikih, ajaran-ajaran Islam dia tuangkan dalam bentuk puisi-puisi indah dan kasidah panjang, dia pikul berbagai tanggungjawab yang berat di bidang agama, politik, dan sosial … namum demikian, dia masih merasakan kekosongan dan kekurangan, sehinga seolah-olah ada misi besar yang harus diselesaikannya.
Dia harus menggunakan suasana bebas yang ada sebaik mungkin untuk memperkenalkan agama Islam yang sesungguhnya kepada semua orang di dunia dengan cara mengenalkan Syi’ah sejati. Sayid Radhi tahu persis bahwa risalah tanpa imamah adalah kurang, kota ilmu Nabi saw. tanpa keberadaan Ali as. adalah kota tanpa pintu gerbang, begitu pula dengan al-Quran; tanpa adanya imam yang suci dia akan sendirian tanpa mufasir.
Dengan gagasan Ilahi ini, Sayid Radhi memulai pekerjaan yang besar. Pekerjaan yang menyuguhkan manisnya sabda-sabda Amirul Mukminin Ali as. dan menghasilkan kitab Nahjul Balaghah yang abadi. Ia adalah ulama pertama yang mengumpulkan dan kemudian membukukan kata-kata Amirul Mukminin Ali as. dan pidato-pidato beliau.
Di Mata Ulama Ahli Sunnah
Dari sisi jenjang keilmuan dan keutamaan moral, Sayid Radhi telah sampai pada tingkat yang begitu tinggi, sehingga dia dihormati dan dipuji baik oleh pengikut mazhab Syi’ah maupun Ahli Sunnah, kawan maupun lawan, ulama maupun masyarakat awam. Tokoh-tokoh dan ulama Ahli Sunnah mempunyai pernyataan-pernyataan yang menarik sekali berkenaan dengan kebesaran Sayid Radhi, di antaranya adalah:
Abdul Malik Tsa’alibi, penyair semasa Sayid Radhi, di dalam bukunya yang berjudul Yatîmat Al-Dahr menerangkan pribadi Sayid Radhi sebagai berikut: “Dia masih berumur sepuluh tahun sudah mampu berpuisi. Sekarang, dia adalah penghulu para pujangga kontemporer, orang termulia di antara tokoh-tokoh Irak, dia mempunyai nasab yang mulia dan hasab (keutamaan) yang membanggakan, sastra yang nyata dan ilmu yang berlimpah, dia telah mengumpulkan segala kebaikan dalam dirinya.” (Yatîmat Al-Dahr, jld. 3, hlm. 131).
Khathib Baghdadi mengatakan, “Sayid Radhi telah menulis buku-buku yang jarang sekali ada tandingannya tentang makna-makna Al-Qur’an.” (Ahmad bin Ali Khathib,Târîkh Baghdâd, jld. 2, hlm. 246).
Jamaludin Abu Mahasin Yusuf bin Taghri Burdi Atabaki menuliskan, “Sayid Radhi Musawi adalah pakar bahasa, hukum, fikih, nahwu dan penyair yang fasih. Dia, ayah dan juga saudaranya tegolong tokoh-tokoh Syi’ah.” (Al-Nujûm Al-Zâhiroh, jld. 4, hlm. 240).
Pergi Tanpa Terduga
Hari itu, kota Baghdad hanyut dalam kesedihan dan ketegangan. Sorotan-sorotan mata khawatir dan penuh makna dari penduduk setempat menunjukkan sebuah kegelisahan yang tidak mereka inginkan dan sulit sekali untuk mereka terima. Sayid Radhi meninggal dunia pada bulan Muharram, tahun 406 hijriah, pada usianya yang ke-47. Menurut sebagian riwayat, Sayid Murtadha sangat terpukul dan sedih sekali mendengar berita kematian saudaranya secara misterius dan tiba-tiba. Bahkan Sayid Radhi tidak tega melihat jenasah saudaranya.
Jenasah Sayid Radhi diiring oleh masyarakat yang tak terhitung jumlahnya, kemudian menteri Fakhrul Malik menyolati jenazahnya. Jenazah Sayid Radhi dikubur di rumahnya sendiri lalu, kurun berapa waktu, dipindahkan ke pemakaman Imam Husain a.s.
Sumber:
www.studisyiah.com