Superioritas Lelaki atas Perempuan dalam Surah Al-Baqarah ayat 228 dan Keadilan Tuhan
Pertanyaan: Dalam ayat 228 surah al-Baqarah dinyatakan bahwa lelaki memiliki kedudukan yang lebih superior ketimbang perempuan, apakah hal ini tidak bertentangan dengan keadilan Tuhan?
Jawaban Global
Ayat ini berbicara mengenai para perempuan yang telah dicerai dan salah satu dari hukum thalaq rij’i (cerai gugat) adalah rujuknya kembali suami-suami mereka pada masa iddah. Hal ini mengisyarahkan pada satu prinsip umum yaitu kesetaraan antara hak-hak dan kewajiban perempuan.
Dari klasifikasi ayat-ayat al-Quran dan konteks ayat ini dapat disimpulkan bahwa al-Quran menganggap kelebihan seseorang terletak pada ketakwaan yang dimilikinya. Al-Quran tidak menerima kesetaraan antara lelaki dan perempuan dalam hukum-hukum dan kewajiban melainkan cenderung pada keadilan. Karena itulah, berdasar pada karakteristik-karakteristik yang diberikan oleh Tuhan kepada kaum lelaki, manajemenisasi rumah tangga menjadi tanggung jawab lelaki.
Jawaban Detil
Ayat mulia yang Anda sebutkan berbicara tentang thalaq rij’i. Dalam ayat ini, Allah Swt berfirman, “Wanita-wanita yang dicerai harus menahan diri (menunggu) selama tiga kali qurû’ (suci dari darah haid). Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan suami-suaminya lebih berhak (daripada orang lain) untuk merujukinya selama masa menanti itu, jika para suami itu menghendaki islah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkat kelebihan daripada istrinya.”[1]
Apa yang disebutkan pada ayat ini merupakan sebuah prinsip penting pandangan Islam terkait dengan kewajiban dan hak-hak perempuan. Keduanya memiliki kesesuaian (sebagaimana halnya kewajiban dan hak-hak lelaki yang masing-masing juga memiliki saling kesesuaian) yaitu antara hak-hak perempuan dengan kewajiban mereka terdapat kesetaraan. Tentunya kebalikan dari ini pun juga benar, yaitu jika sebuah hak diletakkan untuk seseorang, maka sebanding dengan itu akan diletakkan juga sebuah kewajiban yang setara dengan hak yang ia miliki. Prinsip penting ini merupakan akar dan sumber keadilan antara laki-laki dan perempuan.
Pada prinsipnya, Islam tidak mengklaim kesetaraan antara lelaki dan perempuan, melainkan mengklaim keadilan antara lelaki dan perempuan, karena sama sekali tidak bisa diingkari bahwa antara lelaki dan perempuan, dari sisi jasmani, ruhani, dan lain sebagainya terdapat berbagai perbedaan. Dari perbedaan inilah sehingga dalam kewajiban masing-masing terhadap yang lainnya pun terdapat perbedaan, dan inilah tak lain yang disebut dengan keadilan. Dan jika dengan keberadaan perbedaan-perbedaan ini tetap dituntut kewajiban yang sama, maka hal ini bertolak belakang dengan keadilan.[2]
Dengan memperhatikan poin ini dan dengan memperhatikan bahwa sebuah keluarga yang berhasil dan bahagia membutuhkan seorang pengelola yang kuat dan piawai, dimana seluruh kalkulasi dan perhitungannya jauh dari fanatisme, maka kondisi jasmani lelaki dan sebagianya yang menyebabkan lelaki menjadi pengelola dan penanggung jawab keluarga.[3]
Dengan demikian, dalam pandangan Islam, kendati lelaki diberi kelebihan atas perempuan dalam dimensi ini, akan tetapi kelebihan dan derajat mereka ini telah meniscayakan mereka memiliki tugas dan kewajiban, dimana kewajiban dan tugas seperti ini tidak dikehendaki dari para perempuan.
Yang menarik di sini, pada akhir ayat ini dikatakan, “Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” Kalimat bercahaya ini menunjukkan bahwa hukum dan rencana Tuhan meniscayakan bahwa siapapun harus melaksanakan kewajibannya di masyarakat sesuai dengan hukum penciptaan yang telah ditentukan baginya dan sesuai dengan struktur tubuh yang dimilikinya.[4]
Kesimpulannya, dengan memperhatikan konteks ayat dan dengan memperhatikan ayat-ayat lain yang berfirman, “Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”[5] dan ayat, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa”,[6] dan tidak adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam dimensi ini, maka akan terjelaskan dengan baik bahwa ayat mulia ini hanya menjelaskan tentang kelebihan lelaki dari dimensi manajemenisasi, pengelolaan dan tanggungjawab rumah tangga dan tidalah bermakna bahwa kaum lelaki secara mutlak laki-laki memiliki kelebihan dalam seluruh dimensi.
Referensi:
[1]. (Qs. Al-Baqarah [2]: 228)
[2]. Masalah keadilan di antara lelaki dan perempuan bukanlah dengan makna bahwa mereka setara satu dengan yang lain dalam segala hal dan senantiasa melangkah bersama.Kaum perempuan diciptakan untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban yang berbeda dengan lelaki, oleh karena itulah ia memiliki perasaan dan sensitifitas yang berbeda. Hukum penciptaan, kewajiban sebagai seorang ibu yang penyayang, pendidik generasi-generasi yang kuat di masa mendatang telah diletakkan dalam tanggung jawabnya, dengan dasar inilah kaum perempuan diberi saham yang lebih besar dalam kasih sayang dan perasaan, sementara berdasarkan hukum ini, kewajiban keras dan lebih berat dalam masyarakat diletakkan pada pundak lelaki, dan saham lebih banyak pada pemikiran dikhususkan padanya. Karena itu jika kita ingin mengaplikasikan keadilan, maka kita harus meletakkan kewajiban-kewajiban sosial yang lebih banyak membutuhkan pemikiran, kekuatan dan beban yang lebih berat, di pundak lelaki, sedangkan kewajiban-kewajiban yang menuntut kasih sayang dan sensitifitas lebih besar, harus kita letakkan dalam tanggung jawab perempuan, dengan dasar iniah sehingga manajemenisasi rumah tangga berada di pundak lelaki dan deputi atau perwakilannya diletakkan dalam tanggung jawab perempuan. Bagaimanapun, hal ini tidak akan menjadi penghalang bagi perempuan untuk mengemban tanggung jawab dan berkiprah dalam masyarakat, dalam tugas dan kewajiban yang sesuai dengan struktur jasmani dan jiwa mereka, dan disampung melaksanakan kewajibannya sebagai seorang ibu, mereka juga bisa melakukan kewajiban-kewajiban sensitif lainnya. Perbedaan ini juga tidak akan menjadi penghalang bagi perempuan untuk menjadi lebih maju dan berkembang dari kaum laki-laki dari sisi spiritual, pengetahuan, dan ketakwaan. Ringkasnya, hukum-hukum seperti adanya hak cerai atau rujuk pada masa iddah atau keputusan di tangan lelaki (kecuali dalam kasus tertentu dimana diberikan hak cerai kepada perempuan atau hakim syar’i) muncul dari sini, dan inilah hasil langsung kanyataan, rujuklah: Tafsîr Nemune, jil. 2, hlm. 158.
[3]. Hal ini merupakan sebuah tema yang secara praktis diakui oleh seluruh pengklaim kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan, karena ketika kita melihat negara-negara yang mengklaim kesetaraan hak lelaki dan perempuan, kita melihat maoritas negara-negara ini memilih pengelola-pengelola derajat pertamanya dari kalangan para lelaki dan menyerahkan tugas-tugas pengelolaan kepada para lelaki.
[4]. Silahkan lihat, Tafsîr Nemune, jil. 2, hlm. 161.
[5]. (Qs. Al-Nahl [16]: 97)
[6]. (Qs. Al-Hujurat [49]: 13)
Sumber:
www.islamquest.net