• Black
  • perak
  • Green
  • Blue
  • merah
  • Orange
  • Violet
  • Golden
  • Nombre de visites :
  • 18
  • 23/3/2017
  • Date :

Dari Literatur Syiah Ke Marjaiyyah (1)

Pada 229 H, setelah Imam Mahdi menjalani ghaybat al-sughra, naib keempat Imam, Ali bin Muhammad Simmari mengabarkan periode ghaybat al-kubra  yang akan dijalani Imam. Setelah itu, kontak langsung dengan sumber wahyu terputus. Tidak dapat lagi masyarakat awam menanyakan persoalan-persoalan mereka. Sejak itulah, ruang interpretasi dibuka sebebas-bebasnya. Sejak itu pulalah dimulai tradisi keilmuan yang baru dalam khazanah Ahlul Bait.

dari literatur syiah ke marjaiyyah (1)

Alkisah, seorang anak ditanya oleh ayahnya. Sang ayah adalah seorang alim besar pada zamannya. 

  “Ingin jadi apakah kau ketika besar nanti?” 

“Aku ingin menjadi sepertimu” jawab si anak.

“Salah besar anakku, bercita-citalah untuk meniru Imam Ja’far Shadiq. Dengan begitu, walaupun 1 % cita-citamu itu tercapai, engkau sudah jauh lebih baik dariku”.

Cerita di atas menggambarkan sebuah tradisi keilmuan dalam mazhab Ahlul Bait. Tentu yang dimaksud dengan Ahlul Bait di sini adalah mazhab Syi’ah Imamiyyah. Walaupun saya pribadi cenderung memisahkan antara kedua istilah itu. Ahlul Bait adalah pusaka peninggalan Rasulullah untuk umatnya, karena itu ia tidak terbatas hanya kepada Syi’ah saja. 

Dari cerita di atas terlihat betapa besar pengaruh para Imam Ahlul Bait kepada para pengikutnya. Imam Ja’far Shadiq, misalnya, meninggalkan khazanah keilmuan yang banyak untuk para pengikutnya. Pada masa beliaulah “universitas Islam” pertama didirikan. Abu Hanifah, salah seorang murid Imam Ja’far Shadiq, bahkan dididik dalam suasana toleransi dan pluralitas bermazhab yang tak terbatas. Bahkan para zindiq  pun waktu itu mewarisi dan menikmati wacana intelektual yang beragam. 

Namun, sepeninggal Imam Ja’far Shadiq, seiring dengan naiknya kekhalifahan ‘Abbasiyyah ke tampuk pemerintahan, tradisi itu perlahan-lahan memudar. Masing-masing mazhab pemikiran berkembang sendiri-sendiri, hingga zaman keemasan Andalusia, dengan Ibn ‘Arabi sebagai contoh didikan masa itu. Syeikh Muhyiddin Ibn al-‘Arabi, alim Andalusia yang dimakamkan di Rukn al-Din, Damaskus hidup di tengah masa yang dipenuhi perdebatan yang sengit antara penganut Islam dan Nasrani, antara Mu’tazilah dan Asy’ariah, antara para ahli fikih, filsafat, dan tasauf.

Semua perdebatan itu menimbulkan bekas yang mendalam pada dirinya sebagaimana dikatakan oleh Abu al-‘Ala ‘Afifi, “Inna li Ibn ‘Arabi `fi kulli mu’askarin qadamun ” (Nashr Hamid Abu Zayd, Falsafah al-Ta`wil, Dirasatun fi Ta’wil al-Qur’an ‘inda Muhy al-Din bin ‘Arabi , 1996)

Dalam Syi’ah sendiri, pengaruh para Imam yang dominan memberikan ruang interpretasi yang terbatas bagi para pengikutnya. Beberapa kisah diskusi Imam dan sahabatnya menggambarkan hal itu. Toh , tidak ada kekhawatiran yang berarti. Karena orang Syi’ah percaya bahwa sang Imam adalah pewaris mutlak kenabian. Kepada mereka juga berlaku ayat, “Fa mâ atâkum al-rasûlu fakhudzûhu, wa ma nahâkum ‘anhu fantahû” . Ucapan mereka, tingkah laku dan perbuatan mereka adalah divinely intervened uswatun hasanah .

Demikian berlanjut hingga zaman Imam keduabelas, Imam Mahdi al-Muntazhar. Pada 229 H, setelah Imam Mahdi menjalani ghaybat al-sughra, naib keempat Imam, Ali bin Muhammad Simmari mengabarkan periode ghaybat al-kubra  yang akan dijalani Imam. Setelah itu, kontak langsung dengan sumber wahyu terputus. Tidak dapat lagi masyarakat awam menanyakan persoalan-persoalan mereka. Sejak itulah, ruang interpretasi dibuka sebebas-bebasnya. Sejak itu pulalah dimulai tradisi keilmuan yang baru dalam khazanah Ahlul Bait. Tradisi ini sekaligus mewariskan sebuah hierarki intelektual yang menjadi jenjang yang tak dapat begitu saja diabaikan. Mungkin periode setelah ghaybat al-kubra  ini bisa dikatakan sebagai kelahiran dunia intelektual Syi’ah.

Sejak itu, pintu ijtihad dibuka lebar-lebar. Nama-nama seperti Syeikh Kulayni (329 H), Syeikh Shaduq (381 H), Syeikh Mufid, Syeikh Anshari, Syeikh Tabarsi, dan sederet nama lain muncul ke permukaan. Beberapa nama terakhir bahkan muncul pada abad ke 19 dan 20. Periode pengumpulan hadis para Imam oleh ulama di atas menggiring pada tahap berikutnya: masa ijtihad dan pengeluaran fatwa.

Sepeninggal Imam Mahdi, masyarakat awam merujuk pada ulama yang memenuhi kriteria yang disebutkan Imam sebagai penerusnya: alim, adil, mukhalifun li hawahu  (menentang hawa nafsunya, yang senantiasa memelihara kesucian dirinya), faqihun fi al-dîn  (faham permasalahan agama), ârif bi muqtadhiyati zamânihi  (mengenali tantangan dan kebutuhan zaman) dan sebagainya. Pada periode ini mencuat dua nama besar: Syeikh Mufid dan Syahid Tsani. Buku Syahid Tsani, Lum’at al-Dimasyqiyyah , menjadi kitab standar yang digunakan oleh para calon mujtahid. 

Sejak saat itu pula, segala hal-hal yang berhubungan dengan ilmu, menjadi wahana dominasi ulama. Terjadi dikotomi yang jelas antara “ulama” di satu sisi, dan “awam” di sisi lain. 

Demikian berlangsung, sampai dasawarsa terakhir abad ke-19 ketika Ayatullah Shirazi memberi fatwa pelarangan tembakau, sebagai upaya melawan penjajah kolonial Inggris dan Rusia. Fatwa Ayatullah Shirazi itu menandai dibukanya satu fase baru dalam dunia keilmuan Ahlul Bait, ialah fase marja’iyyah. Dikotomi ulama dan awam itu, pada fase marja’iyyah ditandai dengan perbedaan yang jelas antara marja  dan muqallid . Marja’ secara harfiah berarti “yang dirujuk”, dan muqallid berarti “yang mengikuti”. 

Meskipun pembahasan seputar “keharusan bertaklid” atau klasifikasi umat ke dalam “muqallid, muhtâth, atau mujtahid ” sudah tercantum dalam kitab-kitab abad 19 seperti dalam Al-‘Urwah al-Wutsqa , karya Muhammad Kazhim al-Thabathaba’i, atau bahkan Lum’ah Dimasyqiyyah , karya Syahid Tsani yang sekarang menjadi standar pengantar fikih di hawzah di Iran.

Institusi “marja’iyyah” sendiri mungkin baru “resmi” berdiri ketika Sayyid Muhsin al-Hakim mendirikan sebuah lembaga untuk menginstitusionalisasikan distribusi khumus sebagai bentuk pendidikan gratis pada para pelajar di Najaf. Institut itu bernama “Al-Marja’iyyah al-Diniyyah al-‘Ammah ” (Chibli Mallat, the Renewal of Islamic Law , 1995).

Beragam debat seputar marja’iyyah masih berlangsung hingga kini. Walaupun konsep marja’iyyah adalah sesuatu yang bersifat fikih, tetapi ia sangat berpengaruh membentuk budaya intelektual di kalangan Ahlul Bait. (bersambung)

Sumber:
www.misykat.net

  • Print

    Send to a friend

    Comment (0)